BAB I
PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai falsafah hidup atau
pandangan hidup yang berkembang dalam sosial-budaya Indonesia. Pancasila
dianggap memiliki nilai dasar budaya bangsa sehingga membentuk kepribadian
bangsa. Pembentukan karakter bangsa berdasarkan Pancasila merupakan nilai dasar
Pancasila sebagai falsafah.
Sebagai ajaran falsafah, Pancasila mencerminkan hubungan
antara alam semesta dengan Penciptanya, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah asas fundamental kenegaraan. Sejak kelahirannya,
Pancasila sebagai falsafah nasional
modern (1 Juni 1945), Pancasila telah dinyatakan menjadi milik nasional,
berarti milik seluruh bangsa Indonesia. Untuk dapat mengamalkan Pancasila
seharusnya memenuhi tiga syarat:
1.
Keinsyafan batin tentang benarnya
Pancasila sebagai falsafah negara
2.
Pengakuan bahwa yang bersangkutan
menerima dan mempertahankan Pancasila
3.
Mempersonifikasikan seluruh
sila-sila Pancasila dalam perbuatan dengan membiasakan praktek pengalaman seluruh
sila-sila dalam sikap, perilaku budaya dan politik.
1. Cara Berpikir Filsafati
1. 1 Pengertian Filsafat
Secara etimologi, kata falsafah berasal dari bahasa
Yunani, yaitu philosophia:
philo/philos/philein yang artinya cinta /pecinta/ mencintai dan Sophia,
yang berarti kebijakan/wisdom/kearifan/hikmat/hakikat
kebenaran. Jadi, filsafat artinya cinta akan kebijakan atau hakikat kebenaran.
Berfilsafat berarti berpikir sedalam-dalamnya (merenung)
terhadap sesuatu secara metodik, sistematis, menyeluruh, dan universal untuk
mencari hakikat sesuatu. Menurut D. Runes, filsafat berarti ilmu yang paling
umum yang mengandung usaha mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan.
Filsafat timbul ketika manusia menganalisa kenyataan. Ia
menganalisa gejala-gejala; ia memisahkan, membedakan, melihat nuansa, menyelami
dan dalam segala aktivitas itu ia melihat adanya keteraturan dan keterkaitan.
Sambil berdistansi dengan obyek, manusia berperan sebagai subyek. Kemudian,
timbullah pertanyaan-pertanyaan baru yang mendasari dan memungkinkan kita untuk
mengetahui dan mengenal sesuatu.[1]
Sejak dahulu kala filsafat memiliki kaitan yang erat
dengan logika bahkan kadang-kadang disamakan dengan logika. Hal itu wajar
karena pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam logika, hanya bisa dipecahkan
dalam filsafat. Menyelami logika berarti menyelami juga fungsi logis manusia
dan bersama dengan itu menyelami kemungkinan-kemungkinan filsafat.[2]
Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti
produk, sebagai pandangan hidup, dan filsafat dalam arti praktis. Hal ini
berarti filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan
pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari,
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia di
manapun mereka berada. Hasil pemikirannya merupakan suatu putusan dan putusan
ini disebut nilai. Nilai adalah sifat, keadaan, atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Nilai-nilai sebagai
hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan yang dianggap paling
baik bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila, baik sebagai filsafat maupun
sebagai pandangan hidup.
1. 2 Sistem Filsafat
Pemikiran filsafat berasal dari berbagai tokoh yang menjadikan manusia
sebagai subyek. Perbedaan latar belakang tata nilai dan alam kehidupan,
cita-cita dan keyakinan yang mendasari tokoh filsafat itu melahirkan
perbedaan-perbedaan mendasar antar ajaran filsafat. Setiap jalan pikiran atau penalaran tersusun
atas pernyataan-pernyataan yang dapat diselidiki benar tidaknya.
Pernyataan-pernyataan serupa itu juga disebut putusan atau proposisi. Pemikiran
itu mulai muncul pada jaman Aristoteles. Dialah yang pertama menyusun sebuah
sistem yang dinamakan Logika Klasik; kemudian hari sistem ini dibulatkan dan
dikembangkan oleh murid-murid seperti Theophrastus dan terutama oleh para
pemikir Abad Pertengahan dan berlaku sampai sekarang.[3]
Dalam perkembangan filsafat, tampaklah bahwa sebuah
metafisika lain selalu berhubungan juga dengan suatu logika yang berlainan
pula. Hal ini jelas dalam mazhab Stoa. Aristoteles mengerti suatu pengertian
sekaligus berarti mengerti kenyataan, sedangkan dalam filsafat Stoa pengertian
sama sekali tidak berkadar ontologis. Untuk melacak sesuatu diperlukan sesuatu
yang lain, yaitu pendekatan yang berpangkal pada keadaan-keadaan faktual.[4]
Suatu ajaran filsafat yang bulat mengajarkan tentang
berbagai segi kehidupan yang mendasar. Suatu sistem filsafat sedikitnya
mengajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, filsafat hidup dan tata nilai
(etika), termasuk teori terjadinya pengetahuan dan logika. Sebaliknya, filsafat
yang mengajarkan hanya sebagian kehidupan tak dapat disebut sistem filsafat,
melainkan hanya ajaran filosofis seorang ahli filsafat. Sistem filsafat
sedikitnya mengajarkan tentang sumber dan hakikat realita, filsafat hidup dan
tata nilai (etika), termasuk teori terjadinya pengetahuan manusia dan logika.
1. 3 Aliran-aliran Filsafat
Aliran-aliran umum dalam filsafat adalah sebagai berikut:
1. 3. 1 Aliran
materaialisme
Aliran materialisme
mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup, manusia
adalah materi. Semua realitas ditentukan oleh materi (misalnya benda-ekonomi,
makanan) dan terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (hukum
kausalitas) yang bersifat obyektif.
1. 3. 2 Aliran
idealisme/spiritualisme
Aliran idealisme atau spiritualisme mengajarkan bahwa ide
atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Subyek
manusia sadar atas realitas dirinya dan keselamatan, karena ada akal budi dan
kesadaran rohani. Manusia yang tak sadar atau mati sama sekali tidak menyadari
dirinya apalagi realitas semesta, jadi, hakikat diri dan kenyataan ialah akal
budi (ide dan spirit).
1. 3. 3 Aliran realisme
Aliran
realisme menggambarkan bahwa kedua aliran di atas, materialisme dan idealisme
yang bertentangan itu, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak realistis).
Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) saja. Kehidupan,
seperti tampak pada tumbuhan-tumbuhan, hewan dan manusia, mereka hidup
berkembang biak, kemudian tua, akhirnya mati. Pastilah realitas demikian lebih
daripada materi. Karena itu, realitas itu adalah perpaduan antara material dan
nonmaterial.
1. 4 Nilai-nilai Pancasila Berwujud dan Bersifat Filsafat
Pendekatan filsafat Pancasila adalah ilmu pengetahuan yang mendalam
tentang Pancasila. Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam, kita harus
mengetahui sila-sila Pancasila tersebut. Hakikat dan inti yang terkandung dalam
setia sila Pancasila adalah sebagai berikut:
- Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia Indonesia, dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat dan alam semesta.
- Pancasila sebagai dasar negara, ini berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung kehidupan bernegara, seperti yang diatur oleh UUD 1945. Untuk kepentingan-kepentingan kegiatan praktis operasional diatur dalam Tap. MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
- UUD 1945
- Tap. MPR.
- UU
- Perpu.
- PP
- Kepres
- Perda.
3.
Filsafat Pancasila yang abstrak
tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan uraian terinci dari Proklamasi
17 Agustus 1945 yang dijiwai Pancasila.
4.
Pancasila yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kebulatan yang utuh.
5.
Jiwa Pancasila yang abstrak
setelah tercetus menjadi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tercermin
dalam pokok-pokok yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
6.
Berdasarkan penjelasan otentik UUD
1945, undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 pada pasal-pasalnya. Hal ini berarti pasal-pasal dalam
Batang Tubuh UUD 1945 menjelmakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan dari jiwa Pancasila.
7.
Berhubung dengan itu, kesatuan
tafsir sila-sila Pancasila harus bersumber dan berdasarkan Pembukaan dan Batang
Tubuh UUD 1945.
8.
Nilai-nilai yang hidup berkembang
dalam masyarakat Indonesia yang belum tertampung dalam pembukaan UUD 1945 perlu
diselidiki untuk memperkuat dan memperkaya nilai-nilai Pancasila yang
terkandung dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a.
Nilai-nilai yang menunjang dan
memperkuat kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat kita terima asal tidak
bertentangan dengan kepribadian bangsa dan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, misalnya referendum atau pemilihan presiden secara langsung
b.
Nilai-nilai yang melemahkan dan
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan dan Batang
Tubuh UUD 1945 tidak dimasukkan sebagai nilai-nilai Pancasila.
c.
Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dipergunakan sebagai batu ujian dari
nilai-nilai yang lain agar dapat diterima sebagai nilai-nilai Pancasila.
Secara filosofis dalam kehidupan bangsa
Indonesia diakui bahwa nilai Pancasila adalah pandangan hidup. Maka, Pancasila
adalah pedoman hidup dalam bertingkah laku dan berbuat dalam segala bidang
kehidupan, meliputi bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan dan
keamanan.
Sebagai ajaran filsafat, Pancasila
mencerminkan nilai dan pandangan dasar hakiki rakyat Indonesia dalam
hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta.
Dasar normatif yang dapat kita sebut
filsafat negara diperlukan sebagai kerangka untuk menyelenggarakan negara.
Falsafah negara merupakan norma yang paling mendasar untuk menguji apakah
kebijakan legislatif dan eksekutif sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat.
BAB II
PENGERTIAN PANCASILA SECARA
FILSAFAT
1. Pancasila sebagai Filsafat
Kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan dari filsafat.
Tidak hanya sejarah-sejarah panjang zaman dahulu, filsafat telah menguasai
kehidupan manusia masa kini. Lebih dari itu, filsafat telah menjangkau masa
depan umat manusia dalam bentuk-bentuk ideologi. Manusia hidup sebagai pengabdi
setia nilai-nilai filsafat, sebagai ideologi nasionalnya masing-masing.[5]
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki pandangan
hidup. Dalam pandangan hidup itu terkandung konsep dasar mengenai kehidupan
yang dicita-citakan, pikiran yang terdalam dan gagasan mengenai kehidupan yang
dianggap baik.[6] Secara
filosofis diakui bahwa pandangan hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila menjadi pedoman dalam bertingkah laku dan berbuat dalam segala bidang
kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.[7]
Kedudukan pancasila memiliki peranan penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya sebagai pandangan hidup,
pancasila merupakan suatu kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan
dan watak yang sudah berurat/berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan
mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan, apabila manusia
mengembangkan dengan baik hubungannya dengan alam dan Tuhannya, maupun dalam
mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah.[8]
Ada dua hal yang berkaitan dengan filsafat berguna bagi
ideologi pancasila, yakni filsafat sebagai metode dan pandangan. Filsafat
sebagai metode menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat menjabarkan ideologi pancasila.
Sementara filsafat sebagai suatu pandangan mengandung pandangan, nilai dan pemikiran
yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi pancasila. Secara
ringkas filsafat pancasila merupakan refleksi kritis dan rasional tentang
pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa. Tujuannya adalah
untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh.
Filsafat pancasila juga mengungkap konsep-konsep yang bukan saja ditujukan pada
bangsa Indonesia, melainkan juga manusia pada umumnya. Pancasila sebagai
filsafat bangsa Indonesia ditetapkan menjadi ideologi bangsa Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945.
Pembahasan filsafat pancasila dapat dilakukan secara
deduktif dan induktif. Secara deduktif dilakukan dengan mencari hakikat
pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan
pandangan yang komprehensif. Secara induktif yakni dengan mengamati
gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan
makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.[9]
1.1 Rumusan Pancasila
Secara benar, sah dan tetap, rumusan Pancasila sebagai
dasar filsafat negara dapat kita temukan dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)
1945, alinea IV. Dalam alinea IV itu, kita dapat menemukan asas-asas yang
dipakai sebagai dasar dalam mendirikan negara, yaitu asas tujuan, asas politik,
asas kedaulatan rakyat, asas konstitusional, yaitu ditentukannya suatu
Undang-undang Dasar, serta asas kerohanian Pancasila.[10]
Perumusan Pancasila bertujuan merumuskan dasar negara
Indonesia merdeka. Badan yang diserahi tugas untuk merumuskan Pancasila adalah
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang
kemudian disempurnakan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Adapun
bahan-bahan yang digunakan adalah nilai-nilai luhur yang digali dan ditemukan
dari kehidupan bangsa Indonesia, dalam kehidupan agama, budaya dan adat
istiadatnya. Bila dilihat proses terjadinya, rumusan Pancasila yang terdapat
dalam pembukaan UUD 1945 memang dimaksudkan oleh BPUPKI/PPKI sebagai dasar
negara atau sering disebut dasar filsafat negara.[11]
1.2 Susunan dan Arti dari Rumusan
Pancasila
Bila dibedakan filsafat dalam arti teoretis dan praktis,
filsafat Pancasila tergolong dalam arti praktis. Hal itu disebabkan karena filsafat
Pancasila dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya bertujuan untuk mencari
kebenaran dan kebijaksanaan, memenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak
habis-habisnya, dan mencari pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila yang
dapat digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari.[12]
Rumusan Pancasila terdiri dari lima
sila. Pancasila berbunyi:
- Ketuhanan yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/ perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberadaan kelima sila Pancasila ini
tidak terpisahkan, melainkan membentuk suatu sistem filsafat. Sifat
kefilsafatan itu terwujud dalam rumus abstrak dari kelima sila Pancasila.
Rumusan ini disebut abstrak, karena imbuhan ke- dan –an serta per- dan –an yang
terdapat pada kata-kata inti Pancasila, yakni:
- Ke-Tuhan-an
Sifat-sifat dan
keadaan harus sesuai dengan hakikat Tuhan. Hakikat Tuhan adalah Zat yang satu,
Maha Esa, darimana semua berasal dan ke mana semua akan kembali.
- Ke-manusia-an
Sifat-sifat dan
keadaan-keadaan yang sesuai dengan hakikat manusia. Hakikat manusia adalah
makhluk Tuhan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia terdiri atas unsur-unsur jiwa dan
raga, diberi kebebasan sebagai makhluk pribadi dan sosial yang secara lebih
dianugerahi cipta, rasa, dan karsa.
- Per-satu-an
Persatuan adalah
usaha untuk membuat satu, yang akhirnya menuju pada persatuan dan kesatuan.
Hakikat persatuan ini adalah sifat-sifat dan keadaan yang sesuai dengan hakikat
satu, yakni mandiri, terpisahkan dan terbedakan dari yang lain.
- Ke-rakyat-an
Sifat-sifat dan
keadaan yang sesuai dengan hakikat rakyat. Hakikat rakyat adalah keseluruhan
warga sebagai pendukung masyarakat, bangsa, dan negara.
- Ke-adil-an
Sifat-sifat dan keadaan yang sesuai
dengan hakikat adil. Di sini adil berarti: kesediaan memberikan kepada orang
lain, apa yang menjadi haknya.[13]
Tetapi Pancasila sebagai dasar filsafat negara ternyata
bukan hanya memiliki rumusan yang abstrak, melainkan juga umum dan universal.
Pancasila menentukan negara kita mempunyai kedudukan sebagai pendukung hubungan
terhadap unsur-unsur hakiki dari Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil yang
berkedudukan sebagai pokok pangkal hubungan. Rumusan yang demikian itu, membuat
Pancasila dapat dipahami secara sama oleh
seluruh bangsa Indonesia. Pancasila tidak mengandung pengertian yang pro
dan kontra. Oleh karena itu, sangatlah mungkin untuk mengusahakan agar
kehidupan negara memiliki kesesuaian dengan hal-hal yang berkaitan dengan
landasan kelima sila dari Pancasila, yakni Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan
adil.[14]
2. Fungsi
Filsafat Pancasila
Secara umum filsafat Pancasila memiliki beberapa fungsi,
yakni: pertama, filsafat Pancasila memberi jawaban atas pertanyaan yang
bersifat fundamental atau mendasar dalam tentang hakikat kehidupan bernegara.
Jawabannya ialah segala aspek yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat
dan kelangsungan hidup negara, misalnya: susunan politik, bentuk negara, dan
susunan perekonomian negara.[15]
Kedua, filsafat Pancasila mencari kebenaran yang bersifat
substansi tentang hakikat negara, ide negara atau tujuan bernegara. Hal itu
disebabkan karena substansi inilah yang mempunyai kebenaran yang universal bagi
bangsa Indonesia dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang. Pengertian
tentang substansi ini juga berguna menjadi faktor penentu bagi titik tolak
berfungsinya titik tolak yang bersifat deduktif dan induktif. Dengan kata lain,
pencari kebenaran yang bersifat substansi itu berguna untuk menguji apakah
sesuatu keadaan konkrit dalam masyarakat bertentangan atau tidak dengan
Pancasila. Substansi mengandung essensi kelima sila Pancasila.[16]
Ketiga, filsafat Pancasila berusaha menempatkan dan
menjadi perangkat dari berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kehidupan bernegara. Fungsi filsafat akan semakin jelas, apabila di negara itu
sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara. Misalnya, di dunia Barat yang
liberal, kita menemukan pengembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
tujuan pengembangan liberalisme dalam semua aspek kehidupan manusia.[17]
3. Aspek-aspek Pancasila sebagai Filsafat[18]
3.1 Aspek Ontologis dari
sila-sila Pancasila
Ontologi
menurut Runes, adalah teori tentang adanya keberadaan atau eksistensi.
Sementara Aristoteles, menyebutnya sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat
sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika. Jadi ontologi adalah bidang
filsafat yang menyelidiki makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber
ada, jenis ada, dan hakikat ada, termasuk ada alam, manusia, metafisika dan
alam semesta atau kosmologi.
Dasar
ontologi Pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono pluralis,
oleh karenanya disebut juga sebagai dasar antropologi. Subyek pendukungnya
adalah manusia, yakni : yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang bersatuan,
yang berkerakyatan dan yang berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia. Hal
yang sama juga berlaku dalam konteks negara Indonesia, Pancasila adalah
filsafat negara dan pendukung pokok negara adalah rakyat (manusia).
3.2 Aspek Epistemologi dari sila-sila Pancasila
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan
validitas ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia sebagai hasil pengalaman dan
pemikiran, membentuk budaya. Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia tahu atau
mengetahui bahwa sesuatu itu pengetahuan menjadi penyelidikan epistemologi.
Dengan kata lain, adalah cabang yang menyelidiki makna dan nilai ilmu
pengetahuan, sumbernya, syarat-syarat dan proses terjadinya ilmu, termasuk
semantik, logika, matematika dan teori ilmu.
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem pengetahuan.
Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila menjadi pedoman atau dasar bagi bangsa
Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa,
dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia Indonesia untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam
pengertian seperti itu telah menjadi suatu sistem cita-cita atau
keyakinan-keyakinan (belief system) sehingga telah menjelma menjadi ideologi
(mengandung tiga unsur yaltu : logos (rasionalitas atau penalaran), 2. pathos
(penghayatan), dan 3. ethos (kesusilaan).
3.3 Aspek Aksiologi dari Sila-sila Pancasila
Aksiologi mempunyai arti nilai, manfaat, pikiran dan atau ilmu/teori.
Menurut Brameld, aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki:
a.
tingkah laku moral, yang berwujud etika,
b.
ekspresi etika, yang berwujud estetika atau seni dan keindahan,
c.
sosio politik yang berwujud ideologi.
Kehidupan
manusia sebagai makhluk subyek budaya, pencipta dan penegak nilai, berarti manusia
secara sadar mencari memilih dan melaksanakan (menikmati) nilai. Jadi nilai
merupakan fungsi rohani jasmani manusia. Dengan demikian, aksiologi adalah
cabang fisafat yang menyelidiki makna n;Iai, sumber nilai, jenis nilai,
tingkatan nilai dan hakikat nilal, termasuk estetika, etika, ketuhanan dan
agama.
Berdasarkan
uraian tersebut maka dapat di kemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu
bukan hanya yang bersifat material saja tetapi juga sesuatu yang bersifat
nonmaterial atau rohaniah. Nilai-nilai material relatif mudah diukur yaitu
dengan menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya, sedangkan nilai rohaniah
alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu indra manusia yaitu cipta,
rasa, karsa serta keyakinan manusia.
BAB III
NILAI-NILAI PANCASILA MENJADI
DASAR DAN ARAH KESEIMBANGAN ANTARA HAK
DAN KEWAJIBAN AZASI MANUSIA
Berbicara tentang nilai, berarti berbicara tentang
kualitas yang menjadikan sesuatu dalam dirinya baik, luhur dan berharga.[19]
Segala sesuatu memiliki nilai dalam dirinya. Namun dalam pembahasan ini lebih
fokus pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan keseimbangan antara hak dan
kewajiban asasi manusia. Pandangan mengenai relasi antara manusia dengan
masyarakat merupakan falsafah kehidupan masyarakat yang memberi corak dan warna
bagi kehidupan masyarakat. Pada pendahuluan sudah disinggung mengenai
nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup yang berkembang
dalam sosial budaya bangsa Indonesia.
Untuk merumuskan relasi manusia dalam masyarakat, ada dua
pandangan yang berbeda, yakni pandangan
pertama, melihat manusia sebagai pribadi atau individu. Penekanannya
pada kehidupan personal manusia. Dalam
kehidupan seperti ini sering terjadi persaingan yang tidak sehat. Ada banyak
pelanggaran dan penindasan terhadap kaum lemah.[20]
Di sini berlaku istilah “yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin.” Cara
hidup seperti ini menimbulkan kepincangan dalam hidup bermasyarakat dan tidak
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
adil dan berdap serta asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(bdk. dengan sila kedua dan sila kelima: “kemanusiaan yang adil dan beradab,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”).
Pandangan kedua,
yakni pandangan yang melihat hubungan manusia dengan masyarakat sebagai sosial.
Penekanannya terletak pada aspek masyarakat. Masyarakat dianggap
segala-galanya, masyarakat dijadikan sebagai tolok ukur untuk semua segi
kehidupan.[21] Di sini
dimensi demokrasi sangat menonjol. Bila ini yang berlaku, maka manusia kehilangan
kepribadiannya. Individu dianggap seolah-olah sebuah mesin raksasa masyarakat
yang menggerakkan kehidupan bersama. Paham ini akan menimbulkan tekanan batin
karena hak-hak pribadi diabaikan, dengan demikian kebahagiaan sebagaimana yang
dicita-citakan bersama tidak akan tercapai.
Kedua paham di
atas, dari sudut pandang Pancasila dan hubungan manusia dengan masyarakat tidak
memilih salah satu dari keduanya. Juga tidak memadukan keduanya menjadi satu.
Karena karakter individualisme dan liberalisme serta komunisme tidak sesuai
dengan prinsip Pancasila. Pancasila melihat bahwa kebahagiaan manusia hanya
bisa tercapai jika dikembangkan hubungan yang serasi antara manusia dengan
masyarakat, manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa dan manusia dengan alam
semesta.
Untuk menciptakan keseimbangan antara hubungan hak dan
kewajiban menurut nilai-nilai dari Pancasila, ada tiga hal yang perlu
diketahui:
1. Hubungan Vertikal
Hubungan vertikal adalah hubungan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Kuasa, seperti yang terealisasi dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sila pertama dalam nilai Pancasila menjadi yang terutama dan pertama.
Relasi manusia dengan Tuhan, merupakan hal fundamental yang harus dihidupi.
Manusia wajib taat pada perintah Tuhan dan menghentikan segala larangan-Nya.
Manusia yang tunduk pada hukum Tuhan akan mendapat ganjarannya, manusia akan
memperoleh imbalan yang menjadi haknya di kemudian hari, tetapi tidak diterima
di dunia ini. Imbalan itu akan diterima pada akhir hayat nantinya.[22]
Hubungan yang baik antara Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan,
hanya bisa tercipta bila manusia tunduk pada hukum Ilahi.
Menurut ketuhanan yang maha esa, manusia Indonesia
disadarkan dan diingatkan akan adanya Allah dengan sifat yang dimiliki-Nya.
Pengenalan dan pengalaman akan Allah, diharapkan manusia memiliki sikap dan
tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan Allah. Sikap yang tepat dianjurkan
dalam butir-butir P4 (pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila), sebagai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila.[23]
2. Hubungan Horizontal
Hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan
sesamanya, baik sebagai warga masyarakat, warga bangsa dan warga negara.
Sebagai warga negara memiliki kewajiban kepada negara, misalnya membayar pajak.
Sedangkan hak warga negara yang harus diterima dari negara, misalnya
infrastruktur (jalan raya, PAM, Listrik, dan lain- lain).
Sila kedua sangat menekankan sifat kemanusiaan yang adil
dan beradab. Manusia diharapkan menyadari keluhuran martabatnya sebagai
manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan melaksanakan apa yang
dikehendakinya. Sikap saling mengakui, menghargai, menghormati, dan menjunjung
tinggi martabat kemanusiaan adalah sikap dasar dari pengamalan Pancasila
(khususnya sila kedua).[24]
3. Hubungan Alamiah
Hubungan alamiah adalah hubungan manusia dengan alam
sekitar, yang meliputi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam dengan segala isinya.
Seluruh alam semesta dengan segala isinya diperuntukkan bagi kelangsungan hidup
manusia.[25] Manusia
juga memiliki kewajiban untuk melestarikan alam dan kekayaan yang ada di
dalamnya. Alam juga mengalami penyusutan, sedangkan manusia semakin berkembang,
dengan demikian kebutuhannya juga bertambah. Memelihara kelestarian alam juga
merupakan kewajiban manusia, sebab alam sudah menyumbangkan banyak hal untuk
kelangsungan hidup manusia.
Hubungan manusia dengan alam harus seimbang antara
kewajiban dan hak, sama seperti hubungan manusia dengan masyarakat dan manusia dengan Tuhan. Pancasila adalah suatu
pandangan hidup atau ideologi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan masyarakat atau bangsanya, dan manusia dengan alam
lingkungannya.
Alasan mendasar Pancasila
sebagai pandangan hidup atau ideologi bangsa adalah sebagai berikut:
- Mengakui adanya kekuatan gaib yang ada di luar diri manusia sebagi pencipta serta pengatur dan penguasa alam semesta.
- Mengatur keseimbangan dalam hubungan, keserasian-keserasian dan pengendalian diri. Artinya relasi yang baik dan seimbang antara ketiganya (manusia dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam semesta) akan menciptakan hidup bahagia dan semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
- Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan bangsa sangat penting. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa merupakan nilai sentral. Sebuah negara yang tidak bisa bersatu akan sulit menciptakan hidup harmonis. Negara harus bisa memegang kendali dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Rasa kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan serta musyawarah untuk mufakat dijadikan sebagai sendi dalam kehidupan bersama.
- Kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bersama.
Isi pemikiran Filsafat Pancasila sebagai
suatu pemikiran filsafat tentang negara bahwa Pancasila memberikan jawaban yang
mendasar dan menyeluruh atas masalah-masalah asasi filsafat tentang negara yang
berpusat pada lima masalah sosial.[26]
BAB IV
REFLEKSI
Dengan menggumuli topik pemaparan ini, yang diberi judul,
“Pancasila sebagai Filsafat”, sebagai filsuf muda, kami merasa bangga. Inilah
salah satu kebenaran yang disebut dalam dunia kita (dunia filsafat) bahwa
filsafat memang menyentuh segala realitas, berbicara tentang segala sesuatu,
segala yang ada, all what is.[27]
Filsafat (kebijaksanaan) itu mencakup seluruh kenyataan, yang ada sejauh ada.
Jika menyebut Pancasila, yang bagi kita tidak asing lagi,
dalam kesempatan ini sebagai filsafat, itu berarti Pancasila mempunyai
kesanggupan menelusuri seluruh sisi hidup bangsa kita, mulai dari hukum,
politik, sosial, ekonomi, budaya, dll.[28] Pancasila menjadi “pisau cukur” yang membedah
dan mengurai seluruh kehidupan berbangsa kita. Kita hendak melihat kehidupan
kita dari realitas dan makna terdalam
darinya, yang dipatrikan dalam kelima sila itu dan kita yakini serta sepakati
selama ini sebagai dasar dan fundamen kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
Kita mau melihat bangsa kita bukan dari sesuatu yang lain, tetapi dari ideologi
bangsa kita sendiri, dasar dan fondasi bangsa kita. Karena itu, ada seruan akan
kesadaran yang sungguh untuk mendalami dan menghayatinya serta penglihatan dan
penelusuran yang mendalam tentang sejauh mana itu (pendalaman dan penghayatan
itu) terjadi.
Kita memancangkan
suatu keyakinan yang mengatakan bahwa kita adalah manusia bangsa Indonesia yang
beragama, ber-Tuhan. Kita bukan manusia yang ada terdemikian begitu saja. Kita
yang bergumul dalam segala keterbatasan kita, mau bersatu dalam bangsa yang
satu ini untuk menggapai anugerah tak terhingga dari Tuhan yang sama-sama kita
junjung sebagai realitas tertinggi atas kita. Realitas tunggal dan sempurna
itulah dasar pertama dan pertama bagi kita untuk berbangsa satu dan sama. Kita
hidup karena dan dalam penyelenggaraan-Nya. Dialah yang memampukan para pejuang
kita untuk berjuang gagah berani melawan
para penjajah. Dialah yang menganugerahkan kemerdekaan bangsa yang kita
idam-idamkan itu. Ada adaan yang melampaui ada kita.
Dari realitas tertinggi itu, kita kemudian mau melihat,
menggali, dan menemukan realitas kita,
realitas bangsa; aku dan kau, kita dalam bangsa kita ini. Kita mempunyai
warisan dan paham budaya yang sungguh tinggi nilainya. Kita hendak menjadi
sesama bagi orang lain yang saling memberi arti, saling membangun dan menuju
kemanusiaan yang adil dan beradab, menuju ada kita yang semakin sempurna.[29]
Kita mau menjadi suatu bangsa yang di dalamnya tertemukan manusia yang sungguh
manusia bagi dirinya dan sesama. Itulah dasar semua hukum yang menghendaki
manusia untuk selalu melihat manusia secara utuh manusianya.
Kita
percaya bahwa dengan bersatu, kita kuat. Kita tidak mau saling meniadakan di
dalamnya; melainkan hendak merangkai keanekaragaman menjadi kekayaan bangsa.
Kita mempunyai prinsip dan keyakinan bahwa dalam perbedaan, sebagai konsekuensi
keunikan kita setiap manusia, akan selalu ada titik pertemuan, titik di mana musyawarah
membawa kita kepada kesepakatan; musyawarah untuk mufakat. Di sanalah kebijaksanaan yang meretas segala
batas-batas kesalahpahaman, penyimpangan, dan bahkan pelanggaran sekalipun. “Iustitia omnibus”, keadilan bagi semua.[30]
Idealnya, inilah bangsa kita, inilah yang seharusnya kita hidupi, kita
perjuangkan, dan kita wujudkan.
Oleh karena
itu, sedemikian indah dan tinggi nilai-nilai butir Pancasila kita, seyogianya
tuntutan yang diharapkan dari kita juga sebenarnya tidak boleh dianggap remeh.
Pertama-tama perlu keterbukaan setiap anggota masyarakat untuk saling
menghargai perbedaan keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan yang satu dan sama
itu. Dari sanalah kemudian kita turun kepada penghargaan akan perbedaan suku,
bahasa, dan adat istiadat. Dalam setiap perbedaan itu kita justru mau menemukan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati, yang sempurna meskipun penuh misteri. Maka
kepedulian atau lebih tepat barangkali cinta kepada sesama mengaruskan kita
untuk selalu mencari dan menemukan jalan terbaik bagi lingkungan masyarakat dan
bangsa kita. Perlu pengorbanan, kesetiaan, komitmen, dan integritas! Karena
untuk menjalin persatuan yang tetap utuh keutamaan-keutamaan wajib dimiliki dan
dilakukan. Ini semua ditopang oleh kesadaran akan cita-cita luhur bangsa kita yang
telah diperjuangkan para pahlawan kita dengan gigih. [31]
Serentak
dengan itu, pada kesempatan ini juga, kita mau melihat, sampai pada batas-batas
mana Pancasila itu telah mem-pancasila-i kehidupan bangsa kita. Atau sampai
garis mana kita telah mengamalkan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah
bangsa kita? Tentu kita tidak mau melihat suatu objek yang abstrak yang hanya
ada dalam sebuah lukisan atau bayangan. Kita mau melihat kita yang masih
menyebut diri sebagai civitas bangsa
kita yang kita cintai ini. Kita pantas bertanya, “Ke arah mana kita sekarang
membawa kelima sila itu. Dalam batas dan bingkai mana kita masih tepat
menyebutnya sebagai dasar bangsa kita? Atau lebih tepatnya, dengan berkaca pada
aneka peristiwa pelanggaran, ketidakadilan, dan kasus-kasus yang melilit bangsa
kita sekarang, masihkah kita pantas atau berani menyebut Pancasila yang luhur
dan suci itu sebagai dasar bangsa kita?
Kita merasa
malu dan pilu mendengar dan menyaksikan, kita yang menyebut diri ber-Tuhan
berlaku seperti orang-orang kafir dan barbar. Begitu susahnya sebagian dari
kita merayakan kebebasan beragama mereka di bumi Indonesia kita ini. Seolah
bangsa ini hanya milik segelintir orang. Tuhan tidak pernah menghendaki
umat-Nya memperlakukan sesamanya dengan sewenang-wenang.[32]
Dalam beragama, tampaknya tidak perlu kita merasa diri paling benar, paling
suci, dan karena yang lain harus ditiadakan. Tuahanlah realitas paling tinggi,
satu-satunya kebenaran yang hendak kita yakini, dan kita hanya makhluk yang
dengan segala keterbatasan hendak bersama-sama menimba rahmat berlimpah karena
belas kasih-Nya. Bukankah demikian kita menyebut nya dalam UUD 1945 kita?
Lagi, kita
sekarang dihadapkan pada persoalan skeptis
yang luar biasa (Kompas 21 Maret 2011 oleh Indah Surya Wardhani). Para pemimpin
negara, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat misalnya, atau para aparat
penegak hukum, terlibat dalam tindak pidana korupsi, disuap dan penyelewengan
kuasa hukum, dll. Mau dibawa ke mana lagi bangsa kita ini? Apa sekarang dasar
bangsa kita? Masih tepat menyebut Pancasila? Timbulnya keraguan publik terhadap
kinerja orang-orang dalam lembaga tinggi negara, penegak hukum, dan
lain-lainnya, tak perlu dipertanyakan lagi. Kita masih ingat kejadian Sondang
Hutagalung, yang sedemikian berani membakar diri sendiri akibat bobroknya
bangsa kita sekarang (Kompas 9 Desember 2011).
Yang
dibutuhkan bukanlah ketertutupan dalam fanatisme sempit dan bahkan eksklusif
ekstrem di dalam agama, kelompok atau golongan tertentu. Juga bukan
keserakahan, ketamakan, kemunafikan. Tampaknya tak salah menyebut para petinggi
negara kita sebagai ahli-ahli bersandiwara, yang mementingkan kesenangan dan
cita-cita diri; bukan kepentingan dan cita-cita bangsa.[33]
Dengan
maraknya pelanggaran-pelanggaran hukum negara kita sekarang, Pancasila yang
kita sebut sebagai dasar dan falsafah itu seolah-olah berada di bawah saja,
yang biasa tak tampak. Hanya ketika bangunan di atasnya roboh, dasar (fondasi)
itu menjadi tampak jelas. Pancasila kita yang luhur, indah, dan sungguh
menjanjikan itu, sekarang entah menjadi bagian mana bangsa kita.
Pancasila
sebagai dasar bangsa kita, seharusnya menjadi selalu langkah awal kita memulai
hidup; seharusnya menjadi milik personal dan komunal. Pancasila bukan suatu ide
yang mengawang saja, atau hiasan menarik yang terpatri di dada burung Garuda
yang gagah itu. Pancasila semestinya membatin dalam diri setiap orang yang
berbangsa Indonesia. [34]
Sebuah
fondasi bangunan sekokoh dan sehebat apapun hanya berguna dan sungguh
bermanfaat ketika kekokohannya disatukan dengan tiang-tiang dan dingding di
atasnya. Jika sebuah bangunan fondasinya kuat, kokoh, sementara tiang-tiangnya
terbuat dari bambu, itu sama saja namanya dengan sia-sia. Artinya tak ada
artinya bangunan hanya dengan fondasi tanpa tiang dan dinding yang sejajar
dengannya. Demikianlah juga bisa berlaku bagi “bangunan” bangsa kita yang punya
dasar dan falsafah yang kokoh dan luhur.
Menarik
mendengar pemaparan kelompok sebelumnya dan komentar dari dosen pengampu mata
kuliah ini. Pancasila yang kita mengerti sekarang adalah kristalisasi
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam perjalanan sejarah bangsa kita.
Karenanya ada kemungkinan kita dapat mewujudkan kelima sila itu. Maka
selanjutnya kita menjadikannya sebagai dasar negara kita. Akan tetapi, serentak
dengan itu pula ada kemungkinan lain dalam pernyataan itu, yakni bahwa kita
mempunyai kemampuan untuk tidak mewujudkannya. Kemungkinan selalu berupa jamak,
dan itulah tampaknya yang terjadi, bahwa kita memilih kemungkinan untuk tidak
mewujudkannya sejauh ini.
Pancasila
dasar negara! Kita apanya negara ini? Jangan-jangan Pancasila itu kita anggap
sebagai pelengkap wajib dalam upacara penaikan bendera saja, yang hanya
terpatri di dada garuda besar itu, yang hanya untuk disebut, dan kini
terlupakan? Tampaknya bangsa kita memang telah keliru. Kita keliru karena
merasa diri menjadi Tuhan atas diri kita dan orang lain. Homo homoni lupus kata orang Latin. Manusia menjadi serigala bagi
sesamanya. Bukankah demikian? Kita ingat peristiwa yang menimpa ketua KPK kita
yang pertama. Atau misteri di balik rejim Soeharto dulu. Dengan sandiwara, tipu muslihat, kemunafikan,
yang melanda bangsa kita sekarang, mau bagaimana kita menyebut Pancasila
sebagai dasar, falsafah negara kita?
Sekarang
kita di sini dan kini. Kita bisa melihat kita, lingkungan sekitar kita.
Barangkali dengan salah satu cara kita telah membangun gubuk kecil di atas
tembok fondasi bangsa kita itu, yang hanya cukup untuk diri kita, dan tanpa
badai sekalipun akan roboh ditelan waktu yang sedemikian singkat. Di antara
kita barangkali ada juga menganggap dirinya Tuhan, penipu, pencuri,
pengkhianat, pemfitnah, pesandiwara yang ahli dan lain sebagainya. Bisa saja
dengan jubah, nama, dan keahlian kita, kita menipu diri, sesama, dan Pancasila
kita. Akan tetapi patut kita ingat, kita tidak membohongi, menipu atau
membobrokkan siapa-siapa kecuali diri kita, manusia kita masing-masing.
Semua
gambaran ini tidak mau menyimpulkan bahwa sudah demikanlah kita dan seperti itu
saja. Harus tetap kita akui bahwa masih banyak orang yang berjuang demi
kebaikan bangsa kita. Masih banyak hal baik yang dapat kita lihat, perjuangkan
dan tingkatkan. Karenanya kita tetap
diajak untuk lebih dari sekarang menuju diri dan bangsa yang lebih baik. Kita
masih bisa. Kita masih mampu. Dalam hal itu patut kita teladani perjuangan para
tokoh-tokoh masyarakat kita. Yang terdekat tentu masih ingat kisah P. Rantinus
Manalu misalnya. Dan kalau mau lebih dekat lagi tentu Anda, kita masing-masing.
Mau...? Tak perlu sebut atau!
[1] C. A. van Peursen, Orientasi di Alam
Filsafat (judul asli: Filosofische
Orientatie) diterjemahkan oleh Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm.
38.
[2] C. A. van Peursen, Orientasi ...,
hlm. 13.
[3] C. A. van Peursen, Orientasi …,
hlm. 41.
[4] C. A. van Peursen, Orientasi…,
hlm. 44.
[5] C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945: Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm. 12.
[6] Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
(Jakarta: Phalia Indonesia, 2003), hlm. 22.
[7] C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 80.
[8] Burhanuddin Salam, Filsafat
Pancasilaisme (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 43.
[9] C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 12-13.
[10] Paulus Wahana, Filsafat
Pancasila (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 32.
[11] Paulus Wahana, Filsafat
Pancasila ..., hlm. 34.
[12] Burhanuddin Salam, Filsafat
Pancasilaisme ..., hlm. 23.
[16] Hartati Soesmasdi, Pemikiran
..., hlm. 38.
[17] C. S. T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila ..., hlm. 13-14.
[18] Syahrial Syarbaini, Pendidikan
Pancasila ..., hlm. 22.
[20]
Homo homoni lupus (manusia menjadi
serigala bagi sesamanya). Siapa yang lebih kuat dialah yang bertahan
hidup/tetap eksist, sedangkan yang lemah akan punah/mati, atau Lupus est homo homini (manusia menjadi
“pemangsa” manusia lain. [ lihat B. J & H Wirdamono, Proverbia Latina (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 108].
[33] Bdk. SIB, 23 Februari 2012, hlm. 1.
[34] Notonagoro, Pancasila …hlm.
46.
makasih sangat lengkap banget
BalasHapusHarga Tiket Wisata