Dengan menggumuli topik
pemaparan ini, yang diberi judul, “Pancasila sebagai Filsafat”, sebagai filsuf
muda, kami merasa bangga. Inilah salah satu kebenaran yang disebut dalam dunia
kita (dunia filsafat) bahwa filsafat memang menyentuh segala realitas,
berbicara tentang segala sesuatu, segala yang ada, all what is.[1]
Filsafat (kebijaksanaan) itu mencakup seluruh kenyataan, yang ada sejauh ada.
Jika menyebut Pancasila, yang bagi kita tidak asing lagi,
dalam kesempatan ini sebagai filsafat, itu berarti Pancasila mempunyai
kesanggupan menelusuri seluruh sisi hidup bangsa kita, mulai dari hukum,
politik, sosial, ekonomi, budaya, dll.[2] Pancasila menjadi “pisau cukur” yang membedah
dan mengurai seluruh kehidupan berbangsa kita. Kita hendak melihat kehidupan
kita dari realitas dan makna terdalam
darinya, yang dipatrikan dalam kelima sila itu dan kita yakini serta sepakati
selama ini sebagai dasar dan fundamen kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
Kita mau melihat bangsa kita bukan dari sesuatu yang lain, tetapi dari ideologi
bangsa kita sendiri, dasar dan fondasi bangsa kita. Karena itu, ada seruan akan
kesadaran yang sungguh untuk mendalami dan menghayatinya serta penglihatan dan
penelusuran yang mendalam tentang sejauh mana itu (pendalaman dan penghayatan
itu) terjadi.
Kita memancangkan
suatu keyakinan yang mengatakan bahwa kita adalah manusia bangsa Indonesia yang
beragama, ber-Tuhan. Kita bukan manusia yang ada terdemikian begitu saja. Kita
yang bergumul dalam segala keterbatasan kita, mau bersatu dalam bangsa yang
satu ini untuk menggapai anugerah tak terhingga dari Tuhan yang sama-sama kita
junjung sebagai realitas tertinggi atas kita. Realitas tunggal dan sempurna
itulah dasar pertama dan pertama bagi kita untuk berbangsa satu dan sama. Kita
hidup karena dan dalam penyelenggaraan-Nya. Dialah yang memampukan para pejuang
kita untuk berjuang gagah berani melawan
para penjajah. Dialah yang menganugerahkan kemerdekaan bangsa yang kita
idam-idamkan itu. Ada adaan yang melampaui ada kita.
Dari realitas tertinggi itu, kita kemudian mau melihat,
menggali, dan menemukan realitas kita,
realitas bangsa; aku dan kau, kita dalam bangsa kita ini. Kita mempunyai
warisan dan paham budaya yang sungguh tinggi nilainya. Kita hendak menjadi
sesama bagi orang lain yang saling memberi arti, saling membangun dan menuju
kemanusiaan yang adil dan beradab, menuju ada kita yang semakin sempurna.[3]
Kita mau menjadi suatu bangsa yang di dalamnya tertemukan manusia yang sungguh
manusia bagi dirinya dan sesama. Itulah dasar semua hukum yang menghendaki
manusia untuk selalu melihat manusia secara utuh manusianya.
Kita
percaya bahwa dengan bersatu, kita kuat. Kita tidak mau saling meniadakan di
dalamnya; melainkan hendak merangkai keanekaragaman menjadi kekayaan bangsa.
Kita mempunyai prinsip dan keyakinan bahwa dalam perbedaan, sebagai konsekuensi
keunikan kita setiap manusia, akan selalu ada titik pertemuan, titik di mana musyawarah
membawa kita kepada kesepakatan; musyawarah untuk mufakat. Di sanalah kebijaksanaan yang meretas segala
batas-batas kesalahpahaman, penyimpangan, dan bahkan pelanggaran sekalipun. “Iustitia omnibus”, keadilan bagi semua.[4]
Idealnya, inilah bangsa kita, inilah yang seharusnya kita hidupi, kita
perjuangkan, dan kita wujudkan.
Oleh karena
itu, sedemikian indah dan tinggi nilai-nilai butir Pancasila kita, seyogianya
tuntutan yang diharapkan dari kita juga sebenarnya tidak boleh dianggap remeh.
Pertama-tama perlu keterbukaan setiap anggota masyarakat untuk saling
menghargai perbedaan keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan yang satu dan sama
itu. Dari sanalah kemudian kita turun kepada penghargaan akan perbedaan suku,
bahasa, dan adat istiadat. Dalam setiap perbedaan itu kita justru mau menemukan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati, yang sempurna meskipun penuh misteri. Maka
kepedulian atau lebih tepat barangkali cinta kepada sesama mengaruskan kita
untuk selalu mencari dan menemukan jalan terbaik bagi lingkungan masyarakat dan
bangsa kita. Perlu pengorbanan, kesetiaan, komitmen, dan integritas! Karena
untuk menjalin persatuan yang tetap utuh keutamaan-keutamaan wajib dimiliki dan
dilakukan. Ini semua ditopang oleh kesadaran akan cita-cita luhur bangsa kita yang
telah diperjuangkan para pahlawan kita dengan gigih. [5]
Serentak
dengan itu, pada kesempatan ini juga, kita mau melihat, sampai pada batas-batas
mana Pancasila itu telah mem-pancasila-i kehidupan bangsa kita. Atau sampai
garis mana kita telah mengamalkan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah
bangsa kita? Tentu kita tidak mau melihat suatu objek yang abstrak yang hanya
ada dalam sebuah lukisan atau bayangan. Kita mau melihat kita yang masih
menyebut diri sebagai civitas bangsa
kita yang kita cintai ini. Kita pantas bertanya, “Ke arah mana kita sekarang
membawa kelima sila itu. Dalam batas dan bingkai mana kita masih tepat
menyebutnya sebagai dasar bangsa kita? Atau lebih tepatnya, dengan berkaca pada
aneka peristiwa pelanggaran, ketidakadilan, dan kasus-kasus yang melilit bangsa
kita sekarang, masihkah kita pantas atau berani menyebut Pancasila yang luhur
dan suci itu sebagai dasar bangsa kita?
Kita merasa
malu dan pilu mendengar dan menyaksikan, kita yang menyebut diri ber-Tuhan
berlaku seperti orang-orang kafir dan barbar. Begitu susahnya sebagian dari
kita merayakan kebebasan beragama mereka di bumi Indonesia kita ini. Seolah
bangsa ini hanya milik segelintir orang. Tuhan tidak pernah menghendaki
umat-Nya memperlakukan sesamanya dengan sewenang-wenang.[6]
Dalam beragama, tampaknya tidak perlu kita merasa diri paling benar, paling
suci, dan karena yang lain harus ditiadakan. Tuahanlah realitas paling tinggi,
satu-satunya kebenaran yang hendak kita yakini, dan kita hanya makhluk yang
dengan segala keterbatasan hendak bersama-sama menimba rahmat berlimpah karena
belas kasih-Nya. Bukankah demikian kita menyebut nya dalam UUD 1945 kita?
Lagi, kita
sekarang dihadapkan pada persoalan skeptis
yang luar biasa (Kompas 21 Maret 2011 oleh Indah Surya Wardhani). Para pemimpin
negara, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat misalnya, atau para aparat
penegak hukum, terlibat dalam tindak pidana korupsi, disuap dan penyelewengan
kuasa hukum, dll. Mau dibawa ke mana lagi bangsa kita ini? Apa sekarang dasar
bangsa kita? Masih tepat menyebut Pancasila? Timbulnya keraguan publik terhadap
kinerja orang-orang dalam lembaga tinggi negara, penegak hukum, dan
lain-lainnya, tak perlu dipertanyakan lagi. Kita masih ingat kejadian Sondang
Hutagalung, yang sedemikian berani membakar diri sendiri akibat bobroknya
bangsa kita sekarang (Kompas 9 Desember 2011).
Yang
dibutuhkan bukanlah ketertutupan dalam fanatisme sempit dan bahkan eksklusif
ekstrem di dalam agama, kelompok atau golongan tertentu. Juga bukan
keserakahan, ketamakan, kemunafikan. Tampaknya tak salah menyebut para petinggi
negara kita sebagai ahli-ahli bersandiwara, yang mementingkan kesenangan dan
cita-cita diri; bukan kepentingan dan cita-cita bangsa.[7]
Dengan
maraknya pelanggaran-pelanggaran hukum negara kita sekarang, Pancasila yang
kita sebut sebagai dasar dan falsafah itu seolah-olah berada di bawah saja,
yang biasa tak tampak. Hanya ketika bangunan di atasnya roboh, dasar (fondasi)
itu menjadi tampak jelas. Pancasila kita yang luhur, indah, dan sungguh
menjanjikan itu, sekarang entah menjadi bagian mana bangsa kita.
Pancasila
sebagai dasar bangsa kita, seharusnya menjadi selalu langkah awal kita memulai
hidup; seharusnya menjadi milik personal dan komunal. Pancasila bukan suatu ide
yang mengawang saja, atau hiasan menarik yang terpatri di dada burung Garuda
yang gagah itu. Pancasila semestinya membatin dalam diri setiap orang yang
berbangsa Indonesia. [8]
Sebuah
fondasi bangunan sekokoh dan sehebat apapun hanya berguna dan sungguh
bermanfaat ketika kekokohannya disatukan dengan tiang-tiang dan dingding di
atasnya. Jika sebuah bangunan fondasinya kuat, kokoh, sementara tiang-tiangnya
terbuat dari bambu, itu sama saja namanya dengan sia-sia. Artinya tak ada
artinya bangunan hanya dengan fondasi tanpa tiang dan dinding yang sejajar
dengannya. Demikianlah juga bisa berlaku bagi “bangunan” bangsa kita yang punya
dasar dan falsafah yang kokoh dan luhur.
Menarik
mendengar pemaparan kelompok sebelumnya dan komentar dari dosen pengampu mata
kuliah ini. Pancasila yang kita mengerti sekarang adalah kristalisasi
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam perjalanan sejarah bangsa kita.
Karenanya ada kemungkinan kita dapat mewujudkan kelima sila itu. Maka
selanjutnya kita menjadikannya sebagai dasar negara kita. Akan tetapi, serentak
dengan itu pula ada kemungkinan lain dalam pernyataan itu, yakni bahwa kita
mempunyai kemampuan untuk tidak mewujudkannya. Kemungkinan selalu berupa jamak,
dan itulah tampaknya yang terjadi, bahwa kita memilih kemungkinan untuk tidak
mewujudkannya sejauh ini.
Pancasila
dasar negara! Kita apanya negara ini? Jangan-jangan Pancasila itu kita anggap
sebagai pelengkap wajib dalam upacara penaikan bendera saja, yang hanya
terpatri di dada garuda besar itu, yang hanya untuk disebut, dan kini
terlupakan? Tampaknya bangsa kita memang telah keliru. Kita keliru karena
merasa diri menjadi Tuhan atas diri kita dan orang lain. Homo homoni lupus kata orang Latin. Manusia menjadi serigala bagi
sesamanya. Bukankah demikian? Kita ingat peristiwa yang menimpa ketua KPK kita
yang pertama. Atau misteri di balik rejim Soeharto dulu. Dengan sandiwara, tipu muslihat, kemunafikan,
yang melanda bangsa kita sekarang, mau bagaimana kita menyebut Pancasila
sebagai dasar, falsafah negara kita?
Sekarang
kita di sini dan kini. Kita bisa melihat kita, lingkungan sekitar kita.
Barangkali dengan salah satu cara kita telah membangun gubuk kecil di atas
tembok fondasi bangsa kita itu, yang hanya cukup untuk diri kita, dan tanpa
badai sekalipun akan roboh ditelan waktu yang sedemikian singkat. Di antara
kita barangkali ada juga menganggap dirinya Tuhan, penipu, pencuri,
pengkhianat, pemfitnah, pesandiwara yang ahli dan lain sebagainya. Bisa saja
dengan jubah, nama, dan keahlian kita, kita menipu diri, sesama, dan Pancasila
kita. Akan tetapi patut kita ingat, kita tidak membohongi, menipu atau
membobrokkan siapa-siapa kecuali diri kita, manusia kita masing-masing.
Semua
gambaran ini tidak mau menyimpulkan bahwa sudah demikanlah kita dan seperti itu
saja. Harus tetap kita akui bahwa masih banyak orang yang berjuang demi
kebaikan bangsa kita. Masih banyak hal baik yang dapat kita lihat, perjuangkan
dan tingkatkan. Karenanya kita tetap
diajak untuk lebih dari sekarang menuju diri dan bangsa yang lebih baik. Kita
masih bisa. Kita masih mampu. Dalam hal itu patut kita teladani perjuangan para
tokoh-tokoh masyarakat kita. Yang terdekat tentu masih ingat kisah P. Rantinus
Manalu misalnya. Dan kalau mau lebih dekat lagi tentu Anda, kita masing-masing.
Mau...? Tak perlu sebut atau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar