Selasa, 13 Maret 2012

Pancasila benarkah dasar negara kita?

Dengan menggumuli topik pemaparan ini, yang diberi judul, “Pancasila sebagai Filsafat”, sebagai filsuf muda, kami merasa bangga. Inilah salah satu kebenaran yang disebut dalam dunia kita (dunia filsafat) bahwa filsafat memang menyentuh segala realitas, berbicara tentang segala sesuatu, segala yang ada, all what is.[1] Filsafat (kebijaksanaan) itu mencakup seluruh kenyataan, yang ada sejauh ada.
            Jika menyebut Pancasila, yang bagi kita tidak asing lagi, dalam kesempatan ini sebagai filsafat, itu berarti Pancasila mempunyai kesanggupan menelusuri seluruh sisi hidup bangsa kita, mulai dari hukum, politik, sosial, ekonomi, budaya, dll.[2]  Pancasila menjadi “pisau cukur” yang membedah dan mengurai seluruh kehidupan berbangsa kita. Kita hendak melihat kehidupan kita dari  realitas dan makna terdalam darinya, yang dipatrikan dalam kelima sila itu dan kita yakini serta sepakati selama ini sebagai dasar dan fundamen kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Kita mau melihat bangsa kita bukan dari sesuatu yang lain, tetapi dari ideologi bangsa kita sendiri, dasar dan fondasi bangsa kita. Karena itu, ada seruan akan kesadaran yang sungguh untuk mendalami dan menghayatinya serta penglihatan dan penelusuran yang mendalam tentang sejauh mana itu (pendalaman dan penghayatan itu) terjadi.
            Kita  memancangkan suatu keyakinan yang mengatakan bahwa kita adalah manusia bangsa Indonesia yang beragama, ber-Tuhan. Kita bukan manusia yang ada terdemikian begitu saja. Kita yang bergumul dalam segala keterbatasan kita, mau bersatu dalam bangsa yang satu ini untuk menggapai anugerah tak terhingga dari Tuhan yang sama-sama kita junjung sebagai realitas tertinggi atas kita. Realitas tunggal dan sempurna itulah dasar pertama dan pertama bagi kita untuk berbangsa satu dan sama. Kita hidup karena dan dalam penyelenggaraan-Nya. Dialah yang memampukan para pejuang kita untuk berjuang  gagah berani melawan para penjajah. Dialah yang menganugerahkan kemerdekaan bangsa yang kita idam-idamkan itu. Ada adaan yang melampaui ada kita.
            Dari realitas tertinggi itu, kita kemudian mau melihat, menggali, dan menemukan  realitas kita, realitas bangsa; aku dan kau, kita dalam bangsa kita ini. Kita mempunyai warisan dan paham budaya yang sungguh tinggi nilainya. Kita hendak menjadi sesama bagi orang lain yang saling memberi arti, saling membangun dan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab, menuju ada kita yang semakin sempurna.[3] Kita mau menjadi suatu bangsa yang di dalamnya tertemukan manusia yang sungguh manusia bagi dirinya dan sesama. Itulah dasar semua hukum yang menghendaki manusia untuk selalu melihat manusia secara utuh manusianya.
Kita percaya bahwa dengan bersatu, kita kuat. Kita tidak mau saling meniadakan di dalamnya; melainkan hendak merangkai keanekaragaman menjadi kekayaan bangsa. Kita mempunyai prinsip dan keyakinan bahwa dalam perbedaan, sebagai konsekuensi keunikan kita setiap manusia, akan selalu ada titik pertemuan, titik di mana musyawarah membawa kita kepada kesepakatan; musyawarah untuk mufakat.  Di sanalah kebijaksanaan yang meretas segala batas-batas kesalahpahaman, penyimpangan, dan bahkan pelanggaran sekalipun. “Iustitia omnibus”, keadilan bagi semua.[4] Idealnya, inilah bangsa kita, inilah yang seharusnya kita hidupi, kita perjuangkan, dan kita wujudkan.
Oleh karena itu, sedemikian indah dan tinggi nilai-nilai butir Pancasila kita, seyogianya tuntutan yang diharapkan dari kita juga sebenarnya tidak boleh dianggap remeh. Pertama-tama perlu keterbukaan setiap anggota masyarakat untuk saling menghargai perbedaan keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan yang satu dan sama itu. Dari sanalah kemudian kita turun kepada penghargaan akan perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat. Dalam setiap perbedaan itu kita justru mau menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati, yang sempurna meskipun penuh misteri. Maka kepedulian atau lebih tepat barangkali cinta kepada sesama mengaruskan kita untuk selalu mencari dan menemukan jalan terbaik bagi lingkungan masyarakat dan bangsa kita. Perlu pengorbanan, kesetiaan, komitmen, dan integritas! Karena untuk menjalin persatuan yang tetap utuh keutamaan-keutamaan wajib dimiliki dan dilakukan. Ini semua ditopang oleh kesadaran akan cita-cita luhur bangsa kita yang telah diperjuangkan para pahlawan kita dengan gigih. [5]
Serentak dengan itu, pada kesempatan ini juga, kita mau melihat, sampai pada batas-batas mana Pancasila itu telah mem-pancasila-i kehidupan bangsa kita. Atau sampai garis mana kita telah mengamalkan Pancasila itu sebagai dasar dan falsafah bangsa kita? Tentu kita tidak mau melihat suatu objek yang abstrak yang hanya ada dalam sebuah lukisan atau bayangan. Kita mau melihat kita yang masih menyebut diri sebagai civitas bangsa kita yang kita cintai ini. Kita pantas bertanya, “Ke arah mana kita sekarang membawa kelima sila itu. Dalam batas dan bingkai mana kita masih tepat menyebutnya sebagai dasar bangsa kita? Atau lebih tepatnya, dengan berkaca pada aneka peristiwa pelanggaran, ketidakadilan, dan kasus-kasus yang melilit bangsa kita sekarang, masihkah kita pantas atau berani menyebut Pancasila yang luhur dan suci itu sebagai dasar bangsa kita?
Kita merasa malu dan pilu mendengar dan menyaksikan, kita yang menyebut diri ber-Tuhan berlaku seperti orang-orang kafir dan barbar. Begitu susahnya sebagian dari kita merayakan kebebasan beragama mereka di bumi Indonesia kita ini. Seolah bangsa ini hanya milik segelintir orang. Tuhan tidak pernah menghendaki umat-Nya memperlakukan sesamanya dengan sewenang-wenang.[6] Dalam beragama, tampaknya tidak perlu kita merasa diri paling benar, paling suci, dan karena yang lain harus ditiadakan. Tuahanlah realitas paling tinggi, satu-satunya kebenaran yang hendak kita yakini, dan kita hanya makhluk yang dengan segala keterbatasan hendak bersama-sama menimba rahmat berlimpah karena belas kasih-Nya. Bukankah demikian kita menyebut nya dalam UUD 1945 kita?
Lagi, kita sekarang dihadapkan pada persoalan skeptis yang luar biasa (Kompas 21 Maret 2011 oleh Indah Surya Wardhani). Para pemimpin negara, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat misalnya, atau para aparat penegak hukum, terlibat dalam tindak pidana korupsi, disuap dan penyelewengan kuasa hukum, dll. Mau dibawa ke mana lagi bangsa kita ini? Apa sekarang dasar bangsa kita? Masih tepat menyebut Pancasila? Timbulnya keraguan publik terhadap kinerja orang-orang dalam lembaga tinggi negara, penegak hukum, dan lain-lainnya, tak perlu dipertanyakan lagi. Kita masih ingat kejadian Sondang Hutagalung, yang sedemikian berani membakar diri sendiri akibat bobroknya bangsa kita sekarang (Kompas 9 Desember 2011).
Yang dibutuhkan bukanlah ketertutupan dalam fanatisme sempit dan bahkan eksklusif ekstrem di dalam agama, kelompok atau golongan tertentu. Juga bukan keserakahan, ketamakan, kemunafikan. Tampaknya tak salah menyebut para petinggi negara kita sebagai ahli-ahli bersandiwara, yang mementingkan kesenangan dan cita-cita diri; bukan kepentingan dan cita-cita bangsa.[7]
Dengan maraknya pelanggaran-pelanggaran hukum negara kita sekarang, Pancasila yang kita sebut sebagai dasar dan falsafah itu seolah-olah berada di bawah saja, yang biasa tak tampak. Hanya ketika bangunan di atasnya roboh, dasar (fondasi) itu menjadi tampak jelas. Pancasila kita yang luhur, indah, dan sungguh menjanjikan itu, sekarang entah menjadi bagian mana bangsa kita.
Pancasila sebagai dasar bangsa kita, seharusnya menjadi selalu langkah awal kita memulai hidup; seharusnya menjadi milik personal dan komunal. Pancasila bukan suatu ide yang mengawang saja, atau hiasan menarik yang terpatri di dada burung Garuda yang gagah itu. Pancasila semestinya membatin dalam diri setiap orang yang berbangsa Indonesia. [8]
Sebuah fondasi bangunan sekokoh dan sehebat apapun hanya berguna dan sungguh bermanfaat ketika kekokohannya disatukan dengan tiang-tiang dan dingding di atasnya. Jika sebuah bangunan fondasinya kuat, kokoh, sementara tiang-tiangnya terbuat dari bambu, itu sama saja namanya dengan sia-sia. Artinya tak ada artinya bangunan hanya dengan fondasi tanpa tiang dan dinding yang sejajar dengannya. Demikianlah juga bisa berlaku bagi “bangunan” bangsa kita yang punya dasar dan falsafah yang kokoh dan luhur.
Menarik mendengar pemaparan kelompok sebelumnya dan komentar dari dosen pengampu mata kuliah ini. Pancasila yang kita mengerti sekarang adalah kristalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam perjalanan sejarah bangsa kita. Karenanya ada kemungkinan kita dapat mewujudkan kelima sila itu. Maka selanjutnya kita menjadikannya sebagai dasar negara kita. Akan tetapi, serentak dengan itu pula ada kemungkinan lain dalam pernyataan itu, yakni bahwa kita mempunyai kemampuan untuk tidak mewujudkannya. Kemungkinan selalu berupa jamak, dan itulah tampaknya yang terjadi, bahwa kita memilih kemungkinan untuk tidak mewujudkannya sejauh ini.
Pancasila dasar negara! Kita apanya negara ini? Jangan-jangan Pancasila itu kita anggap sebagai pelengkap wajib dalam upacara penaikan bendera saja, yang hanya terpatri di dada garuda besar itu, yang hanya untuk disebut, dan kini terlupakan? Tampaknya bangsa kita memang telah keliru. Kita keliru karena merasa diri menjadi Tuhan atas diri kita dan orang lain. Homo homoni lupus kata orang Latin. Manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Bukankah demikian? Kita ingat peristiwa yang menimpa ketua KPK kita yang pertama. Atau misteri di balik rejim Soeharto dulu.  Dengan sandiwara, tipu muslihat, kemunafikan, yang melanda bangsa kita sekarang, mau bagaimana kita menyebut Pancasila sebagai dasar, falsafah negara kita?
Sekarang kita di sini dan kini. Kita bisa melihat kita, lingkungan sekitar kita. Barangkali dengan salah satu cara kita telah membangun gubuk kecil di atas tembok fondasi bangsa kita itu, yang hanya cukup untuk diri kita, dan tanpa badai sekalipun akan roboh ditelan waktu yang sedemikian singkat. Di antara kita barangkali ada juga menganggap dirinya Tuhan, penipu, pencuri, pengkhianat, pemfitnah, pesandiwara yang ahli dan lain sebagainya. Bisa saja dengan jubah, nama, dan keahlian kita, kita menipu diri, sesama, dan Pancasila kita. Akan tetapi patut kita ingat, kita tidak membohongi, menipu atau membobrokkan siapa-siapa kecuali diri kita, manusia kita masing-masing.
Semua gambaran ini tidak mau menyimpulkan bahwa sudah demikanlah kita dan seperti itu saja. Harus tetap kita akui bahwa masih banyak orang yang berjuang demi kebaikan bangsa kita. Masih banyak hal baik yang dapat kita lihat, perjuangkan dan tingkatkan.  Karenanya kita tetap diajak untuk lebih dari sekarang menuju diri dan bangsa yang lebih baik. Kita masih bisa. Kita masih mampu. Dalam hal itu patut kita teladani perjuangan para tokoh-tokoh masyarakat kita. Yang terdekat tentu masih ingat kisah P. Rantinus Manalu misalnya. Dan kalau mau lebih dekat lagi tentu Anda, kita masing-masing. Mau...? Tak perlu sebut atau!


                [1] Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 4.
                [2] Notonagoro, Pancasila  Dasar Filasafat Negara Republik Indonesia (Jakarta: Mutiara Offset, 1974), hlm. 42.
                [3] Anton Bakker, Antropologi Metafisika (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 50.
                [4] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2010), hlm. 162.
                [5] Notonagoro, Pancasila …hlm. 5.
                [6] Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat, Laporan Situasi HAM 2011: Menuju Titik Nadir Perlindungan HAM, Ketika Negara Kembali Menjadi Aktor Utama Pelanggaran HAM , (Elsam),  hlm. 2.
[7] Bdk. SIB, 23 Februari 2012, hlm. 1.
[8] Notonagoro, Pancasila …hlm. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar